Tangisan Gita Maharkesri di siaran terakhir Kompas Sport Pagi bukan sekadar luapan emosional seorang presenter yang harus mengucap perpisahan. Itu adalah isyarat dari sesuatu yang lebih besar, lebih menyedihkan, dan lebih mengkhawatirkan: runtuhnya harapan di tengah industri media yang sedang kolaps.
Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang melanda media nasional kini menjadi bukti bahwa kita tengah menyongsong era baru ‘era jobless’ di mana pekerjaan bukan lagi jaminan masa depan, bahkan bagi mereka yang selama ini berdiri di garis depan informasi publik. Kompas TV merumahkan 150 orang, TV One 75 orang, CNN Indonesia TV 200 orang, dan VIVA.co.id bahkan akan menutup kantornya di Pulogadung bulan depan. Emtek memangkas 100 karyawan, dan MNC menggabungkan 10 pemimpin redaksi menjadi hanya tiga.
Apa yang sebenarnya sedang terjadi?
Pertama, kita tidak bisa menafikan bahwa disrupsi digital telah mengubah peta industri media secara drastis. Pendapatan iklan migrasi ke platform digital global yang tak membayar pajak layak dan tak memiliki tanggung jawab etik jurnalistik. Sementara media mainstream terseok mempertahankan idealisme dan operasional.
Namun, kita juga perlu jujur bahwa ini bukan sekadar krisis digital, tapi juga krisis arah. Media kehilangan pijakan sebagai penjaga akal sehat publik, karena terlalu sering harus tunduk pada logika klikbait, politik pemilik modal, atau tekanan oligarki. Ketika suara media dikerdilkan, maka ruang kerja profesional pun ikut menyusut.
Kedua, gelombang PHK massal ini adalah cermin dari kerapuhan perlindungan tenaga kerja di Indonesia. Industri sebesar media saja bisa tumbang tanpa adanya sistem penyangga yang kokoh, bagaimana dengan sektor-sektor lain? Ironisnya, ini terjadi di saat kita menyaksikan geliat pembangunan infrastruktur yang begitu masif, namun seolah lupa bahwa pembangunan paling penting adalah menjaga keberlangsungan hidup pekerja dan keluarganya.
Ketiga, ini bukan semata-mata tentang kehilangan pekerjaan. Ini soal kehilangan martabat, kehilangan ruang untuk berpikir kritis, dan kehilangan kepercayaan bahwa negeri ini masih punya tempat untuk para pekerja yang jujur dan berdedikasi. Ketika jurnalis tak lagi punya ruang untuk bekerja, maka masyarakat kehilangan banyak: kehilangan informasi yang sahih, kehilangan suara kebenaran, kehilangan kontrol terhadap kekuasaan.
“Selamat datang di negara jobless,” tulis seorang warganet. Kalimat itu terdengar pahit, tapi semakin terasa relevan. Kita tengah menyaksikan perubahan besar tanpa persiapan matang, tanpa perlindungan sosial yang adil, dan tanpa arah yang menyejahterakan.
Opini ini bukan untuk menyalahkan. Tapi untuk menggugah: sampai kapan kita akan diam ketika satu per satu ruang kerja bermakna lenyap? Sampai kapan kita mengabaikan bahwa media yang independen dan sehat adalah fondasi penting dari demokrasi?
Saatnya negara hadir. Bukan dengan basa-basi, tapi dengan kebijakan konkret. Menata ulang relasi media dan platform digital, memberikan insentif bagi media yang menegakkan etika, dan membangun sistem perlindungan kerja yang adaptif terhadap zaman. Jika tidak, kita bukan hanya akan kehilangan pekerjaan, kita akan kehilangan arah sebagai bangsa. (Aki omar)



Comment